BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan kebudayaan manusia yang selalu berkembang dan perkembangan pendidikan akan seiring sejalan
dengan dinamika masyarakatnya, karena ciri masyarakat selalu berkembang. Ada
kelompok masyarakat yang berkembang sangat cepat, tetapi ada pula yang
lambat.Hal ini karena pengaruh dan perkembangan teknologi, komunikasi dan
telekomunikasi.Dalam kondisi seperti ini perubahan-perubahan di masyarakat
terjadi pada semua aspek kehidupan. Efek perubahan di masyarakat akan berimbas
pada setiap individu warga masyarakat, pengetahuan, kecakapan, sikap, kebiasaan
bahkan pola-pola kehidupan.
Realita dunia pendidikan di negara
kita mengalami kemajuan yang sangat signifikan dengan terbukti dengan adanya
berbagai media pembelajaran yang menggunakan peralatan canggih di dalam
pelaksanaanya .Namun yang menjadi pertanyaan apakah dengan semakin majunya
pendidikan sekarang ini akan mencetak sosok-sosok orang yang memiliki
kontribusi besar dalam membangun negeri ini? Apakah akan tercipta Soekarno baru
yang bisa merubah nasib bangsa ini? Hal ini menjadi sebuah angan-angan dan
harapan demi terwujudnya semua ini.
Melihat fakta yang ada pendidikan sekarang ini seperti barang mewah (tersier), pendidikan mahal yang hanya terjangkau oleh orang-orang yang punya banyak rupiah. Mulai dari biaya yang harus dikeluarkan untuk pendaftaran masuk hingga kepada buku-buku yang tidak terjangkau oleh kita. Belum lagi persoalan fasilitas sekolah yang jauh dari kategori layak, sungguh jauh dari sebuah harapan. Padahal substansi pendidikan mempunyai 3 tugas pokok, yakni mempreservasi, mentransfer dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya. Pendidikan juga sangat vital peranannya dalam mentransfer nilai-nilai dan jatidiri bangsa (van Glinken, 2004). Maka jika pendidikan tidak bisa dinikmati oleh segenap elemen masyarakat luas dapat diprediksikan semangat nasionalisme dan kebersamaan yang menjadi nilai-nilain luhur akan semakin lenyap.
Melihat fakta yang ada pendidikan sekarang ini seperti barang mewah (tersier), pendidikan mahal yang hanya terjangkau oleh orang-orang yang punya banyak rupiah. Mulai dari biaya yang harus dikeluarkan untuk pendaftaran masuk hingga kepada buku-buku yang tidak terjangkau oleh kita. Belum lagi persoalan fasilitas sekolah yang jauh dari kategori layak, sungguh jauh dari sebuah harapan. Padahal substansi pendidikan mempunyai 3 tugas pokok, yakni mempreservasi, mentransfer dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya. Pendidikan juga sangat vital peranannya dalam mentransfer nilai-nilai dan jatidiri bangsa (van Glinken, 2004). Maka jika pendidikan tidak bisa dinikmati oleh segenap elemen masyarakat luas dapat diprediksikan semangat nasionalisme dan kebersamaan yang menjadi nilai-nilain luhur akan semakin lenyap.
B. Perumusan Masalah
Berasarkan latar belakang yang ada dan permasalahan-permasalahan
yang ada dapat irumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan kritik pendidikan masa kini?
2. Bagaimana pendidikan dalam persfektif Islam?
3. Apa yang harus dilakukan menghadapai tantangan pendidikan masa
kini ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kritik Pendidikan Masa Kini
UN Sebagai Alat Pemetaan
Ujian Nasional (UN) telah berjalan selama 4 tahun. Selama itu pula kritik
terhadap pelaksanaan UN terus mengalir. Kebijakan pemerintah yang menjadikan UN
sebagai alat penentu kelulusan siswa dinilai keluar dari tujuan awal pendidikan
nasional. Alternatif baru dengan menjadikan UN sebagai alat pemetaan pendidikan
dinilai menjadi solusi paling tepat.
Perbandingan mutu pendidikan antar Negara berupa hasil tes anak sekolah sering
ditampilkan sekaligus dijadikan alasan pembenaran atas pelaksanaan UN (Ujian
Nasional). Model penilaian dalam bentuk assessement dalam UN hanya menguji
keterampilan menghafal fakta dan kemampuan berpikir konvergen. Sementara
persoalan dalam kehidupan lebih menekankan pada kemampuan kreatifitas,
analisis, pemecahan masalah dan pola berpikir divergen.
Dalam aturan yang ada menyebutkan bahwa UN bukan satu-satunya syarat kelulusan
(Kompas, 14/12/2009). Namun pada kenyataannya, pemerintah (Depdiknas) masih
tetap menggunakannya sebagai satu-satunya indikator penentu kelulusan siswa.
Sikap yang dilakukan pemerintah semacam ini, disadari atau tidak justru akan
menjadi penghambat kemampuan kreativitas anak didiknya. Mereka cenderung
dituntut untuk lebih mengembangkan kecerdasan intelektual (IQ) semata.
Sedangkan kemampuan lainnya seperti kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan
Spiritual (SQ) maupun bakat individu cenderung diabaikan.
Sistem pendidikan yang berjalan saat ini rasanya kurang tepat kalau tetap
dijalankan dalam kondisi masyarakat yang diterjang arus globalisasi. Situasi
dan kondisi yang ada saat ini, menuntut setiap orang untuk bertindak cerdas, cepat
dan kreatif. Tidak cukup bermodal pintar saja. Orang pintar cenderung identik
dengan kemampuan teoritis, namun minim pengetahuan lapangan. Meski teori juga
penting, namun kreativitas yang berbeda-beda dalam diri individu menjadi modal
utama hidup di tengah arus globalisasi.
Hasil penelitian yang dilakukan Prof. Yong Zho, seorang peneliti China,
terhadap dunia pendidikan di China. Ironis, China yang dulu amat menekankan
perolehan pengetahuan dengan penghafalan fakta, menyadari kekeliruan. Dalam
beberapa dekade terakhir ini China mulai beralih pada proses pendidikan yang
mendorong pada kreativitas (Kompas, 26/11/2009). Kebijakan baru pemerintah
China ini, berbenih munculnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompetitif, mampu
bersaing di era globalisasi.
Sejak ditetapkannya UN, lembaga penyelenggara pendidikan dihinggapi rasa
khawatir yang berlebihan terhadap hasil UN. Proses pembelajaran yang terjadi di
kelas 6, 9 dan 12 yang berubah menjadi proses bimbingan belajar. Upaya untuk
memperoleh hasil maksimal mereka tempuh dengan menambah jam pelajaran mata
pelajaran (Mapel) UN, sementara jatah jam pelajaran Mapel lainnya terkurangi,
bahkan dihapus. Sekolah takut kalau tingkat kelulusannya rendah dimarahi kepala
Dinas atau diprotes masyarakat.
Dalam pelaksanaan UN, BSNP (Badan Standarisasi Nasional Pendidikan) yang
menjadi bagian pihak penyelenggara UN mengakui adanya kecurangan UN (Kompas,
5/5/2009). Ironisnya, pendidik terjerumus dalam tindakan tercela mulai
pencurian soal, membiarkan siswa menyontek, memberi contekan, bahkan mengganti
jawaban siswa. Hal ini mereka lakukan sebagai bagian dalam upaya memperoleh
hasil yang baik, demi menjaga image guru maupun lembaga pendidikan yang
bersangkutan. Padahal mereka sadar, bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah tindakan
yang mulia.
B. Tantangan Pendidikan Masa Kini dalam Perpektif Islam
Revitalisasi Peran Pendidikan
Pendidikan dalam pandangan klasik
dikatakan sebagai institusi atau pranata yang dapat
menjalankan tiga fungsi sekaligus. Pertama; menyiapkan generasi
anak manusia agar kelak dapat memainkan peranan-peranan tertetu dalam
masyarakat di masa datang. Kedua; mentransfer (memindahkan)
pengetahuan, sikap dan kecakapan tertentu sesuai dengan peranan yang
diharapkan. Ketiga; mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara
keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan
hidup (survive) masyararakat dan peradaban. Pada butir kedua dan
ketiga di atas memberikan pengertian bahwa pendidikan bukan hanya transfer
of knowledges, attitudes and skills tetapi juga sekaligus sebagai transfer
of value.
Dalam perkembangan berikutnya,
perluasan atau ekstensifikasi pengertian pendidikan sejalan
dengan tuntutan masyarakat, maka lahir misalnya dua fungsi suplementasi
yaitu melestarikan tata sosial dan tata nilai yang ada dalam
masyarakat, dan sekaligus sebagai agen pembaharuan. Di sini terlihat hubungan
timbal balik antara pendidikan dan perubahan. Dengan kata lain, fungsi
pendidikan sebagai konservasi budaya semakin menonjol, tetapi di sisi
lain kurang (tidak) mampu mengatasi masa depan secara akurat dan memadai.
Kritik terhadap pendidikan pada umumnya bermula dari ketidakpuasan masyarakat
terhadap situasi pendidikan yang mengalami stagnasi sehingga tidak mampu
menjawab kebutuhan masyarakat.
Vembriarto berpendapat bahwa
pendidikan setidaknya harus menjalankan empat macam fungsi, yaitu:
1. Transmisi kultutural; berupa pengetahuan, sikap, nilai dan
norma.
2. Memilih dan
mengajarkan peranan sosial:
a. Mengembangkan fasilitas untuk
mengajarkan berbagai macam spekulasi.
b. Mengusahakan agar jumlah
manusia yang terlatih dan memiliki spesialisasi, sesuai dengan kebutuhan.
c. Mengembangkan mekanisme untuk
menyesuaiakan talenta dan bakat anak didik dengan spesialisasi.
3. Menjamin integrasi
sosial, dan
4. Mengadakan
inovasi-inovasi sosial (Syafi Ma’arif, 1991)
Christoper J.Lucas (1979)
mengemukakan, pendidikan seharusnya menyimpan kekuatan yang luar biasa untuk
menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup dan dapat memberi informasi yang
paling berharga mengenai pasangan hidup masa depan di dunia, serta
membantu peserta didik dalam mempersiapkan kebutuhan yang esensial untuk
menghargai perubahan.
Pernyataan senada juga
dikemukakan oleh Harold G. Shane, menurutnya:
1.
Pendidikan adalah cara
memperkenalkan peserta didik pada keputusan soal yang timbul.
2.
Pendidikan adalah cara
menanggulangi masalah sosial tertentu.
3.
Pendidikan adalah cara
menerima dan mengimplementasikan alternatif-alternatif baru.
4.
Pendidikan adalah cara
membimbing perkembangan manusia dan terdorong untuk memberikan kontribusi
pada kebudayaan di masa mendatang.
Perubahan menuju masyarakat madani
membutuhkan kemampuan personal yang berkualitas unggul serta profesional di
bidangnya. Itulah sebabnya pendidikan diharapkan mampu menghasilkan manusia
ber-akhlaqul karimah, berpengatahuan luas serta memiliki
kemampuan spiritual yang tinggi. Konsep ini memang tidak mudah dicapainya,
tetapi perlu diupayakan, untuk itu diperlukan kemampuan melakukan
perubahan dengan mendesain ulang konsep filosofis yang jelas dan baku, visi dan
misinya, tujuan dan fungsi lembaga, kurikulum, materi dan proses pendidikannya
agar memenuhi tuntutunan perubahan dan kebutuhan masyarakat.
Untuk menuju perubahan,
pendidikan diupayakan sebisa mungkin tidak semata-mata bersifat
konsumtif, dalam pengertian pemuasan secara langsung atas
kebutuhan dan keinginan yang bersifat sementara saja, melainkan:
1.
Pendidikan dapat membantu
meningkatkan kualitas iman yang aplikatif.
2.
Pendidikan sebagai proses
pembebasan dan proses pencerdasan.
3.
Pendidikan sebagai proses
menjunjung hak-hak anak.
4.
Pendidikan sebagai
proses pemberdayan potensi manusia.
5.
Pendidikan dapat menjadikan
manusia demokratis dan membangun watak persatuan.
6.
Pendidikkan dapat
menghasilkan manusia cinta perdamaian dan peduli terhadap lingkungan.
Atas dasar tersebut pendidikan
perlu diorientasikan pada: 1) pendidikan berwawasan kemanusiaan dan
2) pendidikan yang mendorong pada peningkatan sumber daya manusia (SDM).
1.
Pendidikan berwawasan
kemanusiaan; pendidikan mempunyai peran strategis bagi kehidupan manusia baik
dalam konteks sosiologis maupun psikologis. Dengan konsep fitrah, Islam
memandang pendidikan sebagai berikut:
a. Pendidikan
harus diorientasikan pada upaya optimalisasi potensi dasar manusia secara
keseluruhan. Artinya pendidikan tidak semata-mata diorientasikan pada upaya
penumbuhan dan pengembangan manusia secara psikologi yang lebih menekankan pada
upaya pengayaan secara material, seperti penekanan yang berlebihan pada aspek
keterampilan.
b. Implikasi tentang pandangan
kemanusiaan tersebut mengharuskan tujuan pendidikan masa depan yang diarahkan
pada pencapaian pertumbuhan kepribadian manusia secara seimbang. Pencapaian
kepribadian yang seimbang sangat diperlukan agar prasarat manuisa di masa
depan dapat tercapai.
c. Terletak pada muatan
materi dan metodologi pendidikan; karena manusia diakui mempunyai banyak
potensi dasar yang terangkum dalam fitrah, maka muata materi pendidikan harus
dapat melingkupi seluruh potensi itu.
1.
Pendidikan yang mendorong
pada peningkatan sumber daya manusia (SDM): pendidikan dalam kerangka dimensi
manusia seutuhnya (insan kamil) setidaknya harus
menghasilkan dua kepastian yang strategis, yaitu melestarikan dan mengembangkan
secara terus menerus nilai-nilai kehidupan sesuai dengan kodratnya, dan
senantiasa menjaga keharmonisan untuk meraih kehidupan yang abadi dalam
hubungannya dengan sesama manusia maupun dengan khalik-Nya.
Salah satu fungsi pendidikan
adalah proses memanusiakan manusia dalam rangka mewujudkan budaya
kemanusiaan. Manusia diciptakan dalam keadaan fitrah, tepatnya
potensi yang dimiliki oleh setiap manusia dimana diri mereka pada dasarnya
siap menerima kondisi apapun yang ada di sekelilingnya dan mampu
menghadapi tantangan seberat apapun.
Oleh karena itu, pendidikan tidak
lain adalah untuk membentuk manusia kamil yang harus diarahkan
pada dua dimensi, yaitu dimensi dialektikal horisontal dan dimensi ketundukan
vertikal.
Dimensi pertama pendidikan pada
hakekatnya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan kongkrit; yaitu
kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya. Pada
dimensi ini manusia harus mempu mengatasi tantangan dan kendala dunia
kongkritnya melalui sains dan teknologi. Dimensi kedua adalah pendidikan sains
dan teknologi; yaitu selain menjadi alat untuk memanfaatkan, memelihara
serta melestarikan sumber daya alami, juga menjadi jembatan untuk memahami
fenomena dan misteri kehidupan dalam mencapai hubungan abadi dengan Yang Maha
Pencipta.
Pendidikan dan Tantangan
Kekinian
Sebagaimana yang kita saksikan,
bahwa fenomena yang terjadi di Indonesia dewasa ini adalah perubahan
terus menerus pada setiap lini kehidupan yang selanjutnya banyak menimbulkan
pergeseran kultur maupur struktur di tengah masyarakat.
Usaha pembangunan yang terus
menerus dipacu oleh pemerintah telah memberi nilai tersendiri bagi kemajuan
bangsa setidaknya dalam bersaing dengan masyarakat global terutama di bidang
budaya maupun pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi harus diakui adanya celah yang
kurang kondusif bagi pengembangan sosial secara menyeluruh.
Diakui atau tidak, bahwa proses
modernisasi dalam berbagai dimensi akan menimbulkan ekses sampingan bagi
masyarakat terutama lahirnya kecenderungan masyarakat kepada hal-hal yang
bersifat konsumtif, materialistik dan individualistik. Hal tersebut terjadi
dikarenakan masing-masing individu dituntut untuk memenuhi kebutuhan riil
sesuai dengan tuntutan pembangunan. Di bawah ini merupakan ekses sampingan yang
dialami oleh masyarakat yang sedang membangun:
1. Berkembangnya mass
culture karena pengaruh kemajuan mass media, sehingga kultur
tidak lagi bersifat lokal melainkan bersifat nasional atau
bahkan global. Hal ini akan berakibat meningkatnya heterogenitas nilai-nilai
dalam masyarakat. Maka selain nilai-nilai agama yang diperlukan, masyarakat
merasa perlu melengkapi dirinya dengan nilai-nilai lain yang datang dari
sekitarnya, baik karena kesepakatan politik, ekonomi maupun budaya.
1.
Menurunnya sikap-sikap
fatalistik dan meningkatnya sifat-sifat yang lebih mengakui kebebasan bertindak
menuju perubahan masa depan, dengan semakin dapat ditaklukannya alam,
masyarakat merasa lebih leluasa bahkan merasa lebih berkuasa.
2.
Masyarakat industri
pada dasarnya dibangun atas proses yang rasional. Meskipun yang
irrasional itu nampaknya tidak bisa hilang sama sekali dari kehidupan umat
manusia, akan tetapi sebagian terbesar kehidupan semakin diatur oleh
aturan-aturan yang rasional, ini berarti pula faham-faham keagamaan atau
kepercayaan yang tidak dapat diterima rasio akan ditinggalkan.
3.
Masyarakat industri juga
akan ditandai oleh semakin meningkatnya sikap hidup materialistik. Setiap
kemajuan harus dapat diukur dengan ukuran-ukuran ekonomi dan kebendaan, baik
pada tingkat individu maupun kelompok. Jika setiap masyarakat menyenangi
kenikmatan dunia itu bukan persoalan, karena sudah menjadi kenyataan sejarah
sejak zaman dulu, akan tetapi jika semua orang sepakat bahwa ukuran
keberhasilan hidup itu ialah kemajuan materi saja, justru hal yang demikian
menentang terhadap eksistensi agama, sebab agama mengajarkan bahwa keberhasilan
itu harus diukur dari dua aspek, yakni keberhasil dibidang materi dan
keberhasilan dibidang ibadah/keimanan.
4.
Masyarakat industri juga
ditandai oleh maraknya urbanisasi yang pesat, hal ini dapat menimbulkan
konsekwensi tersendiri terhadap nilai-nilai agama dan nilai-nilai yang telama
berlaku di masyarakat.
Jalaluddin Rahmat (1997)
memberi ilustrasi bahwa pendidikan telah melahirkan para ahli di bidangnya,
mereka bisa melahirkan teknologi nuklir yang dapat memberi sumber energi,
ketika sumber energi lain mulai menyusut. Dunia kedokteran telah menggunakan
teknologi nuklir, bukan saja untuk mendiagnosis penyakit melainkan juga untuk
membunuh sel-sel kanker. Pion cance therapy misalnya, menggunakan
tembakan partikel pion untuk membunuh tumor ganas. Tetapi, seperti
yang kita ketahui, lebih dari 50.000 senjata nuklir yang ada di dunia sekarang
ini memiliki daya penghancur jutaan kali bom yang jatuh di Hirosima. Biologi
dan kimia telah melahirkan teknologi yang mempertahankn struktur kehidupan
modern, seperti purifikasi air, pembuangan sampah, imunisasi, peningkatan
produksi pertanian, kesehatan, pengobatan, pengolahanan dan penyimpanan
makanan. Sekarang bioteknologi sudah sanggup dengan teknik pembelahan ‘gen”
atau recombinant DNA menjadikan bakteri-bakteri semacam pabrik kimia
yang menghasilkan insulin dan interferon. Insulin diperlukan oleh mereka yang
menderita diabetis, dan interferon diperlukan oleh mereka yang mengidap
penyakit kanker. Tetapi, kemajuan biokimia juga telah dipakai untuk
mengembangkan senjata pemusnah massal bukan untuk memusnahkan hama
penyakit akan tetapi juga untuk manusia .
Teknologi ruang angkasa telah
melahirkan satelit yang dapat digunakan untuk navigasi, ramalan
cuaca, monitor sumber daya alam, menunjukkan masalah polusi,
kegagalan panen, atau penyakit hewan. Pada saat yang sama lebih dari seribu
delapan ratus satelit yang sekarang berada di ruang angkasa telah dipakai
untuk tujuan-tujuan militer, di samping untuk menghancurkan sesama satelit
sehingga ruang angkasa penuh dengan sampah-sampah radioaktif
Teknologi pengobatan lingkungan
dapat dipakai untuk menyelamatkan suatu daerah dari bahaya banjir, mencegah
desertifikasi (meluasnya gurun pasir), atau menyediakan air bagi daerah yang
kekeringan. Namun, teknologi ini juga telah dapat digunakan untuk peperangan
geofisik: menimbulkan kebakaran hutan, penyimpangan air sungai, gempa bumi,
gelombang laut, atau ledakan vulkanis.
Revolusi teknologi juga telah
menimbulkkan saluran-saluran komunikasi yang baru. Radio dapat dikaitkan dengan
pesawat telepon sehingga sinyal dapat dikirim ke kantor, rumah, mobil, atau ke beeper
portabel, semacam telepon saku. Telepon dapat digunakan untuk
telekonferensi, atau dikombinasikan dengan rekaman dan komputer guna
menyebarluaskan informasi. Namun, secara diam-diam melebarnya perluasan dan
intensitas jaringan-jaringan informasi juga bisa mendorong
perilaku-perilaku negatif.
Akibat lain dari revalusi
teknologi dan informasi tersebut adalah terjadinya revolusi sosial. Revolusi
teknologi pada umumnya akan menempatkan negara-negara superpower pada
kedudukan yang menguntungkan secara politis, ekonomis, dan kultural. Banyak
negara-negara terbelakang akan memandang negara-negara Barat sebagai rujukan
nilai, maka akan terjadi tidak saja ketergantungan politis dan ekonomis,
tetapi juga kultural. Di sini nilai-nilai agama khusunya Islam akan banyak
berbenturan dengan nilai-nilai Barat.
Karena adanya ekses sampingan
yang kurang menguntungkan dari teknologi tersebut, kini timbul kesadaran betapa
pentingnya memperhatikan etika dalam pengembangan teknologi. Di beberapa
negara maju telah didirikan lembaga-lembaga “pengawal moral” untuk sains.
Yang paling terkenal diantaranya ialah The Institut of Society, Ethics
and Life Sciences di Hastings, NewYork.
Berkaitan dengan berbagai problem
sosial tersebut, maka perlu untuk direnungkan hal-hal berikut,
bahwa pendidikan bukanlah sekadar proses alih budaya atau alih ilmu pengetahuan
(transfer of knowledge) tapi sekaligus sebagai
proses alih nilai-nilai kemanusiaan (transfer of human values), dengan
tujuan menjadikan manusia yang bertakwa kepada kepada Allah. Inilah
tujuan utama pendidikan.
Membangun Pendidikan
Ideal
Dalam konteks “makro pendidikan”,
pendidikan tidak hanya semata-mata diarahkan pada penumbuhan dan
pengembangan manusia yang secara filosofis lebih menekankan pada pencapaian
secara material. Pendidikan bukan hanya diarahkan pada upaya pengayaan
aspek mental spiritual dalam rangka mengejar tujuan normative, melainkan
juga diarahkan untuk tercapainya manusia yang sempurna secara etik
maupun moral serta mempunyai kepekaan susila. Jika tidak demikian,
pendidikan akan terjebak pada pola yang bercorak dualisme dikotomik. Sementara
dalam pandangan Islam, pendidikan merupakan rekayasa insaniyah
yang berjalan secara sistematis yang dikembangkan dalam rangka keutuhan
manusia, sesuai dengan potensi fitrahnya. Maka muatan pendidikan yang hanya
mementingkan salah satu aspek dari keduanya tidak akan mengantarkan
manusia pada corak personalitas yang utuh.
Dalam ajaran Islam ditegaskan
bahwa pendidikan hendaknya serba meliputi. Sebagaimana yang terungkap dalam QS.
Luqman (31):1-34. Intinya, pendidikan hendaknya memberi penyadaran
potensi fitrah keagamaan, menumbuhkan, mengelola dan membentuk wawasan
(fitrah), akhlak serta tingkah laku yang sesuai dengan ajaran Islam,
menggerakkan dan menyadarkan manusia untuk senantiasa beramal shaleh dalam
rangka beribadah kepada Allah.
Dalam merumuskan hakekat
pendidikan, A Malik Fadjar (1999) menawarkan “pendidikan idealistik”,
yakni pendidikan yang integralistik, humanistik, pragmatik dan berakar budaya kuat.
Adapun pendidikan yang idealistik ini bisa dijelaskan sebagai berikut:
1. Pendidikan integralistik;
yakni mengandung komponen-komponen kehidupan yang meliputi: Tuhan, manusia dan
alam pada umumnya sebagai suatu yang integral bagi terwujudnya kehidupan yang
baik, serta pendidikan yang menganggap manusia sebagai sebuah pribadi
jasmani-rohani, intelektual, perasaan dan individu-sosial.
Pendidikan yang integralsitik
diharapkan bisa menghasilkan manusia yang memiliki integritas tinggi, yang bisa
bersyukur dan menyatu dengan kehendak Tuhannya, yang bisa menyatu dengan
dirinya sendiri (agar tidak memiliki kepribadian belah), menyatu dengan
masyarakatnya (agar bisa menghilangkan disintegrasi sosial), dan bisa menyatu
dengan alam (agar tidak berbuat kerusakan).
2. Pendidikan yang humanistik
memandang manusia sebagai manusia; yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan
fitrah-fitrah tertentu. Sebagai makhluk hidup, ia harus melangsungkan,
mempertahankan, dan mengembangkan hidup. Sebagai makhluk batas –antara hewan
dan malaikat- ia menghargai hak-hak asasi manusia, seperti hak untuk berlaku
dan diperlakukan dengan adil, hak menyuarakan kebenaran, hak untuk berbuat
kasih sayang dan lain sebagainya.
Pendidikan yang humanistik
diharapkan dapat mengembalikan hati manusia kepada fitrahnya sebagai
sebaik-baik makhluk, khaira ummah. Manusia “yang manusiawi” yang
dihasilkan oleh pendidikan yang humanistik diharapkan bisa berfikir, berasa dan
berkemauan, dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang bisa
mengganti sifat individualistik, egoistik, egosentrik dengan sifat kasih
sayang kepada sesama manusia, sifat ingin memberi dan menerima, sifat
saling menolong, sifat ingin mencari kesamaan dan lain sebagainya.
3. Pendidikan yang
pragmatik; adalah pendidikan yang memandang manusia sebagai makhluk hidup yang
selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan
mengembangkan hidupnya, baik bersifat jasmani, seperti pangan, sandang, papan,
sex, kendaran dan sebagainya; juga bersifat rohani, seperti berfikir,
merasa, aktualisasi diri, kasih sayang dan keadilan maupun kebutuhan sukmawi
seperti dorongan untuk berhubungan dengan Adikodrati.
Pendidikan yan pragmatik
diharapkan dapat mencetak manusia pragmatik yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan
hidupnya, peka terhadap masalah-masalah kemanusiaan dan dapat membedakan
manusia dari kondisi dan situasi yang tidak manusiawi.
4. Pendidikan yang berakar kuat,
yakni pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah, baik
sejarah kemanusiaan pada umumnya maupun sejarah kebudayaan suatu bangsa atau
kelompok etnis tertentu. Pendidikan yang berakar budaya kuat diharapkan dapat
membentuk manusia yang mempunyai kepribadian, harga diri, percaya pada diri
sendiri dan membangun peradaban berdasarkan budayanya sendiri yang merupakan
warisan monumental dari nenek moyangnya. Tetapi bukan orang yang anti
kemodernan, yang menolak begitu saja arus transformasi budaya dari luar.
Jika dirumuskan, maka proses
pembentukan manusia seutuhnya (insan kamil), akan diwujudkan melalui
pendidikan yang berorientasi pada pengembangan sains, teknologi dan penanaman
nilai-nilai kemanusiaan (fitrah) untuk membebaskan manusia dari belenggu
kehidupan serta mendapatkan pemahaman hakiki tentang fenomena atau
misteri di balik kehidupan nyata, guna memperoleh kebahagiaan yang abadi di
sisi Allah. Itulah pendidikan yang bermakna secara horisontal
sekaligus vertikal yang akan menghasilkan manusia berkualitas iman kepada
Allah, komitmen dengan ilmu pengetahuan serta senantiasa beramal shaleh.
Keseluruhan aspek yang tercakup
dalam konfigurasi kesatuan iman, ilmu dan amal shaleh merupakan takaran bagi
pembentukan kerangka ideal manusia yang bertaqwa kepada Allah,
cerdas, kreatif. Yakni manusia yang berdaya cipta, bercita rasa,
berjiwa karsa. Di dalam dirinya terdapat kesimbang dalam tiga aspek yaitu
kognitif, efektif dan motorik yang diperlukan untuk memainkan peran pada
zamannya. Itulah blue print manusia masa depan yang memiliki kualitas
dzikir, fikir dan amal shaleh sekaligus.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penulis sepakat dengan
kritik membangun yang disadur dari
internet. Merubah paradigma pendidikan ideal tidaklah mudah apalagi tantangan Pendidikan
masa kini yang begitu kompleks untuk itu diperlukan bagi semua pihak untuk
saling bekerjasama dari semua lapisan masyarakat agar mutu pendidikan tetap
terjaga dan lebih baik.
B. Saran
Penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak untuk perbaikan
makalah kritik pendidikan masa kini.
Semoga makalah ini bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan
tentang kritik
pendidikan masa kini
Al-Qur’an dan Tarjamahnya, 2005, Depag, Jakarta.
Abdul Hafidz, Muhammad Nur, 1997, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Al-Bayan, Bandung.
Al-Attas, Syed M. Naquib, 2003, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, Mizan, Bandung
An-Nahlawi, Abdurrahman, 1995, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Gema Insani Press, Jakarta.
Darmaningtyas, 2005, Pendidikan Rusak-Rusakan, LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta.
Daud Ali, Muhammad, 1999, Pendidikan Agama Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Daud Ibrahim, Marwah, 1994, Teknologi, Emansipasi dan Transendensi (Wacana Peradaban dengan Visi Islami), Mizan, Bandung.
Fadjar, Malik, Pengembangan Pendidikan Islam yang Menjanjikan Masa Depan, Pidato Pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan Ampel Malang, 29 Juli 1995, (tidak diterbitkan).
……………., 1999, Reorientasi Pendidikan Islam, Fajar Dunia, Jakarta.
F. O’neil, William, 2001, Ideologi-Ideologi Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Freire, Paulo, 1999, Politik Pendidikan (Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebsan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Ismail, (ed), 2000, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Latif, Yudi, 2005, Inteligensia Muslim dan Kuasa (Geneologi Intelgensia Muslim Indonesia Abad ke 20), Mizan, Bandung.
Ma’arif, Syafii, A., dkk, 1991, Pendidikan Islam di Indonesia (Antara Cita dan Fakta), Tiara Wacana, Yogyakarta.
Madjid, Nurcholish, 1992, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Paramadina, Jakarta.
Mukti, Abdul, 2000, (editor), Pendidikan, Demokratisasi dan Masyarakat Madani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Nata, Abuddin, 2000, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Rahmat, Jalaluddin, 1997, Catatan Kang Jalal (Visi Media, Politik dan Pendidikan, Mizan, Bandung.
Shihab, Quraisy, 1996, Wawasan Al-Qur’an (Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat), Mizan, Bandung.
Soebahar, Abd. Halim, 2002, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta.
Tafsir, Ahmad, 1994, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Remaja Rosda Karya, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar